Selamat sore, sesuai judulnya sih emang sekarang waktu yang pas buat ngebahas ini...ngebahas apa? ngebahas bingung haha -_- saya emang lagi bingung mau nulis apaan? ujung ujung nya paling curhat. ya gpp sih kan curhat juga nulis, ngeluarin apa yang ada di dalam hati dan pikiran. terus mau curhat apa? masih bingung juga? aduh masa mau curhat aja masih bingung sih. yah jangan di kira curhat itu gampang(?) curhat juga butuh sesuatu yang mau di curhatin, kalo masih bingung mending tidur deh gak usah nulis hehe. lah ini malah nambah bingung yah hihihi ^^
Blog List
12.30.2013
waktunya curhat : hehe haha hihihi
Minggu-minggu ini orang orang lagi pada asyik liburan akhir tahun, berkumpul bersama keluarga. tapi, hari ini saya malah ada jadwal kuliah -_- ah yasudahlah, lagiankan ini jadwal terakhir sebelum ikut liburan juga tanggal 31 nya *lalu senyum sumringah*
Tadi pagi bangun telat, ga shalat subuh lagi :( maafin didiw ya allah .....liat wekker udah menunjukan jam 06:30, langsung cepet cepet mandi. padahal kuliah masuk jam 9, selesai mandi langsung nyari sarapan. ternyata sudah di sediain sorabi pake sambel oncom, hehe makasih mamah .
Categories
Curhat
12.21.2013
Belajar menyenangkan? pakai E-Learning !
Guru yang menyenangkan = pembelajaran yang mengasyikan. kata-kata ini memang sangat memiliki andil besar dalam kelancaran proses pembelajaran di dalam kelas. Sesulit apapun mata pelajaran yang di ajarkan akan terasa mengasyikan jika gurunya menyenangkan.
semua metode pembelajaran pasti memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing, sukses tidaknya sebuah metode pembelajaran kembali lagi pada minat belajar siswanya sendiri.
"Suharsimi Arikunto (1989:15) berpendapat bahwa media pendidikan adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagaiperantara dalam proses belajar mengajar untuk Iebih mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan"
disini saya akan mengulas penerapan model pembelajaran yang menyenangkan , yaitu dengan model pembelajaran e-learning !!!
e-learning adalah kependekan dari elektronik learning, pembelajaran yang berbasis elektronik. dalam arti luas e-learning adalah pembelajaran yang di lakukan di media teknologi komunikasi (internet) baik secara formal maupun informal.
![]() |
penampakan dari pembelajaran e-learning (Adejuve, 2011) |
Internet, hampir setiap orang sudah akrab dengan internet, dari mulai anak-anak sampai orang dewasa di era zaman sekarang tidak jauh dari yang namanya internet. saya pernah mengajar selama 3 hari di SD Budiharti, salah satu sekolah dasar di kabupaten Subang. saya mengambil materi operasi perkalian matematika untuk kelas 2 SD (kelas bawah).
saya memakai media sebagai berikut :
^ LAPTOP
^ INFOKUS
materi sudah saya persiapkan semenarik mungkin di dalam program presentasi (power point), memakai animasi-animasi yang menarik, efek suara yang lucu dan membuat perhatian siswa terfokus kepada guru, pembelajaran berjalan begitu lancar dan menyenangkan. siswa mudah memahami apa yang di jelaskan oleh guru, karena media nya lebih nyata dan menyenangkan. lalu di hari kedua saya masuk ke kelas 4 nya untuk memberikan materi IPA (perubahan zat) berbeda dengan keadaan di dalam kelas 2, anak-anak di kelas 4 sudah lebih melek teknologi, sudah hampir semua anak mempunyai notebook. dan disini saya membawa media yang sama, di pertontonkanlah kepada anak-anak video animasi yang menjelaskan perubahan-perubahan zat. dan untuk hari terakhir saya masuk ke kelas 6. di kelas atas ini anak anaknya sudah lebih lebih lagi melek internetnya, saya memberikan materi secara langsung dari web yang sudah kelompok saya buat, dengan materi Pembelajaran Agama Islam, anak-anak saya ajak untuk membaca ayat suci al-qur'an secara online.
demikian pengalaman mengajar saya, memakai metode e-learning, untuk lebih jelasnya akan saya jelaskan tentang bagaimana proses pembelajaran e-learning, apa saja karakteristik dari pembelajaran e-learning.
Proses pembelajaran E-learning :
1. Mencari materi pokok pembelajaran
a. Guru menyampaikan kompetensi dasar serta beberapa indikator kepada para siswa beserta situs intemet yang dapat
dikunjungi berkenaan dengan kompetensi dasar serta indikator tersebut.
b. Siswa mendownload materi pokok pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar serta indikator yang disampaikan
oleh guru pada situs yang telah ditunjukkan oleh guru, dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk mencari pada situs
lain selain yang ditunjukkan oleh guru .
c. Setelah mengedit apabila diperlukan, siswa mengirimkan hasil download tersebut ke web site atau email guru.
d. Guru mengedit materi pokok yang dikirim oleh para siswa, mengeditnya, yaitu dengan mengurangi apabila mated yang
dikirim oleh siswa apabila bahasannya terlalu luas, atau menambah apabila materi yang dikirim oleh siswa terialu ringkas
pembahasannya, sehingga belum memenuhi indikator yang dikehendaki oleh guru.
e. Setelah di edit, guru mengirimkan ke alamat email siswa apabila materi pokok pembelajaran sudah disesuaikan indikator
yang dikehendaki
2. Pelaksaanaan ulangan harian - dan ulangan blok
a. Guru mempersiapkan bank soal, akan lebih bagus apabila soalnya cukup banyak namun masih dalam koridor indikator
yang dikehendaki oleh guru, sehingga soalnya dapat diacak agar masing masing peserta tidak sama persis soalnya, bank
soal ini tentu harus di lengkapi dengan program pengacak soal, kunci jawaban serta skor yang akan di peroleh bagi masing
masing peserta.
b. Program ini hendaknya dilengkapi dengan KKM, serta penjelasan untuk jawaban yang benar ataupun yang salah untuk
keperiuan remidi lagi yang belum mencapai norma KKM.
c. Masing-masing siswa mempunyai nomor khusus, NIS misalnya, sebagai identitas siswa disamping nama ketika entri data.
d. Semua unit PC sudah tersambung secara LAN dengan server bagi guru, dimana bank soal maupun program program
pendukung yang lain disimpan. (www.internetworldstats.com/)
Karakteristik E-Learning
1. Memanfaatkan jasa teknologi informasi dan komunikasi berupa internet sehingga penyampaian pesan dan komunikasi guru dan sisea dapat di lakukan secara mudah dan cepat.
2. Memanfaatkan media komputer seperti jaringan komputer ( digital media)
3. Pendekatan pembelajaran yang mandiri
4. Menggunakan E-Learning, pembelajaran di tuntuk untuk melepaskan ketergantungannya terhadap buku atau guru (teacher centered)
Manfaat Pembelajaran E-Learning untuk siswa :
1. Pembelajaran dari mana dan kapan saja,
2. Bertambahnya Interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru atau instruktur,
3. Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang lebih luas lagi,
4. Mudah dalam penerimaan materi pembelajaran yang di berikan oleh guru.
Sedangkan manfaat untuk gurunya adalah :
1. Menghemat waktu proses belajar mengajar,
2. Mengurangi biaya pembelajaran (seperti harus membeli buku-buku dan sebagainya;)
3. Melatih peserta didik agar lebih mandiri dalam belajar
Menurut saya, pembelajaran e-learning memang menyenangkan, tapi saya merasa kurang cocok menerapkannya di kelas yang saya ajar. karena saat ini saya memegang kelas 3 SD, pembelajaran ini akan lebih selaras lagi jika di implementasikan di jenjang SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi.
Dan kepada para pengajar sangat di tuntut untuk lebih melek teknologi, jangan sampai kalah sama peserta didik.
![]() |
SD INPRES SALUMONI |
Menjelajah internet dengan lancar itu adalah hal yang sangat menunjang dalam pembelajaran E-learning ini, untuk itu kita harus pintar pintar dalam memilih kartu GSM untuk modem kita, saya rekomendasikan untuk selalu memakai XL :D karena sinyal nya yang kuat sampai ke pelosok desa, harga paketnya pun terjangkau !!! indonesia berprestasi
12.14.2013
MAKALAH KETAKSAAN (AMBIGUITAS) DAN PERUBAHAN MAKNA
KETAKSAAN
(AMBIGUITAS) DAN PERUBAHAN MAKNA
1.
KETAKSAAN
(AMBIGUITAS)
Ketaksaan
(ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan.
Sehubungan dengan ketaksaan ini kempson(1977) yang di kutip oleh Ullmann (1976)
dalam Djajasudarma (1993) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, ketiganya
berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal.
A. Ketaksaan Fonetis
Ketaksaan
pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa
yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu
cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya. Mis., [beruang]
'mempunyai uang' atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina)
'sebuah ginjal' atau ‘sebuah telinga'; di dalam bahasa Sunda pigeulisna ‘giliran
cantiknya' atau pigeu lisna ‘bisu Lisna'.
Ketaksaan
fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya. Seorang kapten
pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang
dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena
itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk
mengulangi apa yang diujarkannya.
B. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan
gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.Dengan demikian,
ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama,
ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal.
Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan
makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda: 'orang yang memukul'
atau 'alat untuk memukul'.
Alternatif
kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata
membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan
maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian. Misalnya, di dalam bahasa
Indonesia, frase orang tua dapat bermakna ganda 'orang yang tua' atau
'ibu-bapak',
demikian pula kalimat "Tono anak Tata
sakit." dapat menimbulkan ketaksaan
sehingga memiliki alternatif:
1. Tono, anak Tata, sakit (Tono yang sakit)
3. Tono! anak Tata sakit (Anak Tata sakit)
dst.
C. Ketaksaan Leksikal
Setiap
kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda,
sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin
mengacu kepada 'abang' atau 'bank', bentuk seperti itu dikatakan polyvalency
yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi.
Segi
pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976), misalnya, kata haram di
dalam bahasa Indonesia bisa bermakna:
1. terlarang, tidak halal
Haram hukumnya
apabila makan daging bangkai.
2. suci, tidak
boleh dibuat sembarangan
Tanah haram
atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atasbumi.
3. sama sekali
tidak, sungguh-sungguh
Tidak
selangkah haram aku surut.
4. terlarang oleh
undang-undang, tidak sah
PKI dan
DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. haramjadah
Anak haram
jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atauanak yang
tidak sah.
Segi
kedua adalah homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, di dalam
bahasa Indonesia kata bisa berarti 'dapat’ atau 'racun', atau kata pukul
yang berarti 'jam' atau 'ketuk'. Segi kedua ini tidak akan
menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.
Djajasudarma (1993) menyebutkan beberapa
kekaburan makna dapat muncul akibat dari, antara lain:
a. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum
(generik). Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali
anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa
dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
b. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus
persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang
konteks itu kabur bagi kita.
c. Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan
yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
d. Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya
(referentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa
pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan
makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks
atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan
pada situasi tertentu.
2.
PERKEMBANGAN
MAKNA
Perkembangan makna mencakup segala hal
tentang makna yang berkembang, baik berubah maupun bergeser. Di dalam hal ini
perkembangan meliputi segala hal tentang perubahan makna baik yang meluas,
menyempit, atau yang bergeser maknanya. Bahasa mengalami perubahan dirasakan
oleh setiap orang, dan salah satu aspek dari perkembangan makna (perubahan
arti) yang menjadi objek telaah semantik historis. Perkembangan bahasa sejalan
dengan perkembangan penuturnya sebagai pemakai bahasa. Kita ketahui bahwa
penggunaan bahasa diwujudkan dalam kata-kata dan kalimat. Pemakai bahasa yang
menggunakan kata-kata dan kalimat, pemakai itu pula yang menambah, mengurangi
atau mengubah kata-kata atau kalimat. Jadi, perubahan bahasa merupakan gejala
yang terjadi di dalam suatu bahasa akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor.
Gejala perubahan makna sebagai akibat
dari perkembangan makna oleh
para
pemakai bahasa. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia.
Sejalan dengan hal tersebut karena manusia yang menggunakan bahasa maka bahasa
akan berkembang dan makna pun ikut berkembang. Faktor-faktor yang dapat
menjadikan suatu bahasa bisa berubah, antara lain:
(1)
Bahasa berkembang seperti yang dikatakan Meilet, “this continuous way from
one
generation
to another".
(2)
Makna kata itu samar (bisa ‘dapat’ atau bisa ‘racun’ tanpa konteks tak jelas
maknanya).
(3)
Kehilangan motivasi (loss of motivation).
(4)
Adanya makna ganda.
(5)
Karena ambigu (ketaksaan) "amoiguos context" .
(6)
Struktur kosakata.
Faktor-faktor yang disebutkan merupakan
hal yang dapat mengakibatkan perubahan makna, perluasan makna, pembatasan
makna, dan pergeseran makna, yang terangkum di dalam perkembangan makna.
1. Perubahan
Makna
Faktor-faktor yang mengakibatkan
perubahan makna antara lain sebagai akibat
perkembangan
bahasa. Perubahan makna dapat pula terjadi akibat:
(1)
faktor kebahasaan (linguistic causes),
(2)
faktor kesejarahan (historical causes),
(3)
sebab sosial (social causes),
(4)
faktor psikologis (psychological causes) yang berupa: faktor emotif,
kata-kata tabu: (1) tabu karena takut, (2) tabu karena kehalusan, (3) tabu
karena kesopanan,
(5)
pengaruh bahasa asing
(6)
karena kebutuhan akan kata-kata baru
Sebab lain linguistis berhubungan dengan
faktor kebahasaan, baik yang ada hubungannya dengan fonologi, morfologi, atau
sintaksis. Kata sahaya pada mulanya dihubungkan dengan budak tetapi
dengan perubahan menjadi saya, maka kata tersebut selalu mengacu kepada
pronomina pertama netral (tidak ada unsur tidak hormat/hormat), dan bila
dibandingkan dengan aku, maka aku mengandung unsur intim. Pronomina
persona pertama jamak bahasa Indonesia kita menjadi kita-kita 'meremehkan'
atau 'menganggap enteng'.
Sebab
historis adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor kesejarahan perkembangan
kata. Misalnya, kata negosiasi berasal dari kata Inggris negotiation
'perundingan'. Kata tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia pada waktu perang
Inggris dengan Argentina. Demikian pula, kata seni yang makna asalnya
adalah 'air kencing', tetapi sekarang berubah maknanya menjadi 'segala sesuatu
yang indah'.
Sebab
sosial muncul akibat perkembangan kata itu di masyarakat, misalnya - kata gerombolan
pada mulanya bermakna 'orang yang berkumpul' atau 'kerumunan orang', tetapi
kemudian kata tersebut tidak disukai lagi karena selalu dihubungkan dengan
'pemberontak' atau 'perampok'. Sesudah tahun 1945 orang dapat berkata:
(1)
Gerombolan semakin
mengganas, tentara semakin lalai.
atau
sebelum tahun 1945 ditemukan ekspresi:
(2)
Gerombolan pemuda
itu menuju pasar.
Setelah
tahun 1945 kata gerombolan enggan dipakai, bahkan ditakuti.
Kata simposium pada mulanya
bermakna 'orang yang minum-minum direstoran dan kadang-kadang ada acara dansa
yang diselingi diskusi'. Dewasa ini kata simposium lebih menitikberatkan
pada diskusi, membahas berbagai masalah dalam bidang ilmu tertentu.
Kebutuhan
akan kata baru sebagai akibat perkembangan pikiran manusia.
Kebutuhan tersebut bukan saja karena
kata atau istilah itu belum ada, tetapi orang
merasa
perlu menciptakan istilah baru untuk suatu konsep. Misalnya, kata anda muncul
karena kurang enak bila mengatakan saudara. Demikian pula kata
yangdirasakan terlalu kasar, seperti kata bui, tutupan, atau penjara diganti
dengan lembaga pemasyarakatan, konsepnya pun berubah, bukan saja
menahanseseorang, tetapi menahan dan menyadarkan mereka agar dapat
menjalankanfungsi kemanusiaan yang wajar bila kembali ke masyarakat.
A.
Perubahan Makna dari
Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia
Perubahan makna dari bahasa daerah ke
dalam bahasa Indonesia, sebagai contoh misalnya kata seni yang kemudian
di dalam bahasa Indonesia bermakna sepadan dengan bahasa Belanda kunst. Bila
kita melihat makna kata seni yang berarti (i) ‘halus’, (ii) air
seni ‘air kencing’, (iii) ‘kecakapan membuat sesuatu yang elok-elok atau
indah’ (Poerwadarminta, 1976: 916-917). Bagi masyarakat Melayu kata seni
lebih banyak dihubungkan dengan air seni atau air kencing.
Djajasudarma
(1993), menjelaskan kosakata bahasa daerah tertentu yang masuk ke dalam bahasa
Indonesia dirasakan tidak layak diucapkan bagi daerahnya, tetapi di dalam
bahasa Indonesia maknanya menjadi layak dan dipakai oleh masyarakat bahasa
Indonesia yang berasal dari daerah lain, seperti kata-kata:
(1)
butuh, berasal dari bahasa Palembang butuh 'alat kelamin
laki-laki'; di dalam bahasa Indonesia selain butuh, didapatkan pula
membutuhkan, dibutuhkan, dan makna butuh menjadi 'perlu'.
(2)
kata tele bagi masyarakat Gorontalo berarti 'alat kelamin perempuan', tetapi
di dalam bahasa Indonesia dipakai bertele-tele, lebih banyak dihubungkan
dengan berkepanjangan ketika menjelaskan sesuatu.
(3)
kata momok yang bermakna 'alat kelamin perempuan' bagi penutur bahasa Indonesia
yang berbahasa ibu Sunda, di dalam bahasa Indonesia bergeser menjadi 'hantu';
masyarakat bahasa Indonesia yang tidak berbahasa ibu Sunda tidak merasa apabila
memakai kata tersebut.
Selanjutnya, Kata-kata daerah yang masuk
ke dalam bahasa Indonesiayang dirasakan tidak layak diucapkan bagi suatu
daerah, tetapi tidak demikian bagi daerah lainnya, dan lama-kelamaan mungkin
tidak dirasakan lagi ketakutan untuk mengungkapkannya, seperti pada ekspresi
berikut.
(1)
Hal tersebut membutuhkan pemikiran lebih lanjut.
(2)
Jangan bertele-tele kalau berbicara.
Bila
dirasakan tidak layak karena alasan makna yang berasal dari bahasa daerah, maka
hal tersebut akan diganti dengan bentukan berikut.
(1)
Hal tersebut memerlukan pemikiran lebih lanjut.
(2)
Jangan berkepanjangan kalau berbicara!
Melihat
kenyataan di atas, perubahan makna dapat terjadi pada kosakata bahasa daerah
yang dipungut bahasa Indonesia.
B.
Perubahan Makna Akibat
Lingkungan
Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan
perubahan makna suatu kata. Katayang dipakai di dalam lingkungan tertentu belum
tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di lingkungan lain. Misalnya, kata
seperti cetak, bagi yang bergerak di lingkungan persuratkabaran, selalu
dihubungkan dengan tinta,huruf, dan kertas, tetapi bagi dokter
lain lagi, dan lain pula bagi pemain sepak bola. Seperti pada ekspresi bahasa
berikut.
(1)
Buku ini dicetak di Balai Pustaka.
(2)
Cetakan batu bata itu besar-besar.
(3)
Pemerintah menggiatkan pencetakan lahan baru bagi petani.
(4)
Dokter banyak mencetak uang.
(5)
Ali mencetak lima gol dalam pertandingan itu.
C.
Perubahan Makna Akibat Pertukaran Tanggapan
Indera
Sinestesi adalah istilah yang digunakan
untuk perubahan makna akibat pertukaran
indera.
Kata sinestesi berasal dari kata Yunani sun 'sama' ditambah aisthetikos'nampak'.
Pertukaran indera yang dimaksud, misalnya antara indera pendengardengan indera
penglihat, indera perasa dengan indera penglihat. Contoh-contohberikut adalah
perubahan makna akibat pertukaran tanggapan pancaindera.
(1)
suaranya terang
(2)
katanya manis
(3)
penampilannya manis
(4)
rupanya manis sekali
(5)
kata-katanya pedas
(6)
kata yang manis enak didengar
(7)
kata-katanya sangat pahit bagi kami
(8)
orangnya hitam manis
D.
Perubahan Makna Akibat Gabungan Kata
Perubahan makna dapat terjadi sebagai
akibat gabungan kata, sebagai contoh dari kata surat (sebagai makna umum
(1) ‘kertas’, ‘kain’ dan sebagainya yang bertulis berbagai maksud; (2) ‘secarik
kertas atau kain, dan sebagainya; sebagai tanda atau keterangan; (3) ‘tulisan’
(yang tertulis) (KBBI, 1988: 872) dapat bergabung dengan kata lain dan maknanya
berbeda, seperti pada:
(1)
surat jalan
(2)
surat perintah
(3)
surat keterangan
(4)
surat kaleng
Perubahan makna akibat gabungan kata,
antara lain, terjadi pada kata rumah,dan makna akibat gabungan tersebut
menunjukkan tempat melakukan sesuatu atau tempat khusus, seperti pada:
(1)
rumah sakit
(2)
rumah makan
(3)
rumah tahanan
(4)
rumah jompo
Sekarang muncul pula gabungan antara panti
dengan kata lain yang bermakna tempat melakukan sesuatu, seperti pada panti
asuhan, panti pijat,dan sebagainya.
D.
Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai
Bahasa
Makna kata dapat mengalami perubahan akibat
tanggapan pemakai bahasa. Perubahan tersebut cenderung ke hal-hal yang
menyenangkan atau ke hal-hal yang sebaliknya, tidak menyenangkan. Kata yang
cenderung maknanya ke arah yang baik disebut amelioratif, sedangkan yang cenderung
ke hal-hal yang tidak menyenangkan (negatif) disebut peyoratif.
Kata-kata
yang amelioratif, antara lain, kata juara dahulu bermakna 'kepala
penyabung ayam', kini maknanya menjadi positif (menyenangkan), seperti pada juara
renang, juara dunia, dan sebagainya, sedangkan kata-kata yang peyoratif,
antara lain, kata gerombolan dahulu bermakna 'orang yang berkelompok',
dengan munculnya pemberontakan di Indonesia kata gerombolanmemiliki
makna negatif, bahkan tidak menyenangkan dan menakutkan. Kata gerombolan
berpadanan dengan 'pengacau', 'pemberontak', 'perampok', dan 'pencuri'.
Kata cuci tangan, dahulu
dihubungkan dengan 'kegiatan mencuci tangansetelah makan dan bekerja', sekarang
cuci tangan dihubungkan dengan makna 'tidak bertanggung jawab di dalam
suatu persoalan' atau 'tidak mau ikut campur' (karena kegiatannya membahayakan
diri sendiri), perbedaan makna tersebut dapat terlihat ekspresi kalimat
berikut.
(1)
la mencuci tangan sebelum makan siang itu.
(2)
la cuci tangan dengan menjelekkan kawannya sendiri dalam persoalan itu.
(3)
Cuci tangan pada persoalan yang dihadapinya mengakibatkan orang meragukan
dia.
E.
Perubahan Makna Akibat
Asosiasi
Asosiasi adalah hubungan antara makna
asli, makna di dalam lingkungan tempattumbuh kata tersebut, dengan makna yang baru,
makna di dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa
(Slametmuljana, 1964). Makna baru ini masih menunjukkan asosiasi dengan makna
asli (lama).
Makna asosiasi dapat kita hubungkan
dengan waktu atau peristiwa, seperti
ekspresi
berikut ini:
(1)
Mari kita rayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
(2)
Karto Suwiryo mengganas di Jawa Barat.
(3)
Penjajahan harus kita hapuskan dari bumi Indonesia.
(4)
Setiap tanggal 21 April para remaja berebut waktu di salon tersebut.
(5)
Hari Ibu di daerah kami dirayakan dengan mengadakan perlombaan bayi sehat.
Djajasudarma (1993), makna asosiasi
dapat pula dihubungkan dengan tempat atau lokasi. Kata-kata seperti: Cendana,
Monas, Grogol, Cengkareng,Bandung, dan sebagainya menunjukkan makna asosiasi
tempat dengan segala peristiwa yang terjadi. Kalau orang mengatakan Senayan,
makna asosiasi kita dapat segera menunjukkan bahwa tempat yang berhubungan
dengan lapangan olahraga terutama sepak bola, kantor Depdikbud, ruang sidang
MPR atau DPR, dan bila orang mengatakan Cendana, makna asosiasi yang muncul
adalah
tempat
kediaman mantan Presiden Soeharto.
Makna asosiasi dapat pula dihubungkan
dengan warna, misalnya, merah putih berasosiasi dengan negara Indonesia.
Sebuah kapal yang mendekatipelabuhan dengan mengibarkan bendera kuning, tanda
ada yang sakit, danmenyatakan bahwa para petugas pelabuhan harus menyediakan
ambulans dandokter untuk merawat orang yang sakit tersebut. Warna kuning
memiliki maknaasosiatif penyakit atau ada yang meninggal bagi daerah tertentu,
misalnya Jakarta.Di dalam suatu pertemuan bendera berwarna putih berasosiasi
dengan 'menyerah'dan lawan akan menghentikan pertempuran tersebut. Warna merah
pada lampustopan mengasosiasikan dengan 'berhenti', warna kuning dengan
'siap-siap' danwarna hijau 'berjalan'. Warna hitam mengasosiasikan kita kepada
'kesukaan' atau'kemalangan', dan orang Tionghoa yang mendapat kemalangan selalu
memakaipita hitam yang menempel pada bajunya. Warna yang diterapkan pada
wayang(golek) memiliki asosiasi lain lagi, dan Anda dapat menelusuri makna
tersebutmelalui seorang dalang.
Makna asosiasi dapat pula dihubungkan
dengan tanda (gambar) tertentu.Misalnya, di dalam lalu lintas kita mengenal rambu-rambu
lalulintas. Tanda Z berasosiasi dengan ‘jalan berbelok-belok', ada tanda untuk
pom bensin, rumah makan atau rumah sakit, dan sebagainya. Para pelaut atau tim
SAR, kapten kapal dan sebagai sudah terlatih dengan makna asosiasi melalui
tanda atau lambang tertentu. Tanda atau lambang yang digunakan biasanya
bersifat internasional dan berlaku secara menyeluruh di dunia.
2. Proses
Perubahan Makna
Salah satu aspek dari perubahan bahasa
adalah perubahan makna. Perubahan makna ini menjadi sasaran kajian semantik
historis. Perubahan makna dapatdianggap sebagai akibat hasil proses yang
disebabkan oleh (1) hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam kosa kata, (3)
perubahan konotasi, (4) peralihan dari pengacuan yang kongkret ke pengacuan
abstrak, (5) timbulnya gejala sinestesia dan (6) penerjemahan harfiah
(Djajasudarma, 1993).
Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak
kata dengan bermacam ragam,yang mengakibatkan suatu kata, misalnya kata A, bila
dihubungkan dengan kata B, akan mempunyai jenis hubungan yang berbeda bila kata
A tersebutdihubungkan dengan kata lain C. Dari kenyataan itu kita harus
memahami kajian kata (termasuk perubahan maknanya) melalui hubungannya atau
sebab-sebab terjadinya perubahan makna.
A. Hubungan Sintagmatik
Satuan leksikal dapat mengalami perubahan
arti karena (a) kekeliruan pemenggalan morfem-mofemnya, misalnya, kata Jawa pramugari
yang terjadi dari awalan pra- dan bentuk dasar mugari 'pembantu
tuan rumah pada peralatan'; dipenggal menjadi pramu- dan -gari. Pemenggalan
yang salah ini dipakai untuk menghasilkan bentuk-bentuk lain dengan analogi,
sehingga muncul bentuk-bentuk seperti pramuniaga; pramuwisma, pramuria, dan
sebagainya.
Bentuk pramu- kemudian
dihubungkan dengan makna 'pemberi jasa' atau'pelayan'. Demikian pula bentuk remaja
yang berasal dari remaja putera 'anak belasan tahun antara 11 atau
13 tahun' yang pada gilirannya berasal dari rajaputera 'anak raja'.
Satuan leksikal dapat mengalami
perubahan makna akibat (b) persandinganyang lazim (teradat), yang disebut
kolokasi. Misalnya, bentuk nasibyang dapat bersanding dengan baik dan
buruk, dan yang lebih sering muncul adalah nasib buruk daripada nasib
baik, lama-kelamaan nasib bermakna konotatif buruk.
Makna satuan leksikal dapat berubah pula
sebagai akibat (c) penghilangan salah satu unsurnya. Misalnya, tidak
semena-mena 'sewenangwenang', unsur keduanya dari bahasa Sansekerta samana
'seimbang' menjadi semenamenadengan arti yang sama
'sewenang-wenang'; demikian pula bentuk acuh takacuh yang berarti 'tidak
menghiraukan' menjadi acuh dengan arti yang sama 'tidak menghiraukan'.
B. Rumpang di dalam Kosa Kata
Kosa kata suatu bahasa kadang-kadang
kekurangan bentuk untuk mengungkapkan konsep tertentu. Penutur bahasa dapat
memilih satuan leksikal yang ada dan (a)menyempitkan maknanya. Misalnya, pesawat
'alat', 'mesin', di kalanganpenerbang menyempit maknanya sehingga sama
dengan pesawat terbang.
Bentuk pemerintah 'yang
memerintah' di dalam tata negara memiliki makna 'kekuasaan eksekutif yang
dibedakan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif .
Perubahan arti dapat terjadi sebaliknya
dari yang diungkapkan di atas, (b) meluaskan makna satuan leksikal. Misalnya,
di samping saudara kandung dan ibukandung, muncul pula ayah
kandung, walaupun ayah tidak pernah bersalin atau mengandung dan ayah tidak
berasal dari satu kandung. Bentuk kandung kemudian memiliki hubungan pertalian
kekerabatan. Hal yang sama terjadi pada ibu,bapak, dan saudara.
Usaha lain untuk mengisi kekosongan
(bentuk-bentuk yang rumpang) didalam bahasa, dengan (c) memakai metafora atau
kiasan. Misalnya, lapisan(masyarakat), pada kenyataannya hanya sebagai
perbandingan dengan benda yang berlapis-lapis dan yang dimaksud adalah adalah
kelas-kelas (masyarakat).
Demikian pula angkatan (bersenjata),
padahal yang mengangkat senjata belumtentu kesatuan bersenjata; atau (tukang)
catut (catut sendiri asal maknanya adalah 'alat pencabut paku') makna
kemudian menjadi sama dengan 'calo', dan tukang di dalam hal ini sama maknanya
dengan 'ahli'.
Rumpang di dalam kosa kata dapat pula
diisi dengan perkembangan (d) acuan yang ada di luar bahasa. Perubahan makna
dapat terjadi akibat berkembangnya acuan tersebut, sehingga makna leksikal
berkembang pula.
Misalnya, bentuk merakit dan perakitan
yang bermakna 'menyatukan komponenkomponen'di bidang automotif sehingga
dipakai sebagai padanan assemble atau
assembling.
Contoh lain adalah bentuk kereta api yang
acuannya berkembang dari kereta yang bergerak dengan tenaga uap ke kereta
dengan sumber tenagalistrik atau diesel. Satuan istilah kereta api sebagai
istilah umum sekararrg juga yang mencakup istilah kereta rel listrik (KRL) atau
kereta rel diesel (KRD).
Demikian pula terjadi pada. kata-kata
merangkum (mengumpulkan sesuatumenjadi satu) menjadi merangkum (cerita,
mengikhtisarkan).
C. Sinestesia
Penggabungan dua macam tanggapan
pancaindera terhadap satu hal yangsama, disebut sinestesia. Sinestesia dapat
mengakibatkan perubahan makna, pengalaman pahit terjadi kombinasi antara
pencerapan indera perasa (pengalaman) dan indera pengecap (pahit); pada muka
masam terjadi kombinasi indera penglihat (muka) dengan indera perasa
(asam); pada suara tajam terjadi penggabungan indera pendengar (suara)
dengan indera perasa (tajam).
Penggabungan dua macam tanggapan indera
ini dapat dikatakan sebagaiperubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera
karena tampaknya sama (sun+ aisthetikos).
D. Penerjemahan
Harfiah
Pemungutan konsep baru yang diungkapkan
di dalam bahasa lain terjadi juga lewatpenerjemahan kata demi kata, sehingga
bentuk terjemahan itu memperoleh arti (makna) baru yang tidak dimiliki
sebelumnya. Salah satu akibat proses perubahan makna yang terjadi adalah adanya
satuan leksikal kuno dan satuan leksikal usang.
Satuan leksikal yang kuno, antara lain,
kehilangan acuannya yang berada di luar
bahasa
masa kini, sedangkan satuan leksikal yang usang menurun frekuensinya, antara
lain, karena konotasi yang dimilikinya. Kadang-kadang satuan leksikal yang kuno
atau usang digunakan kembali dengan makna baru. Hal tersebut seperti terjadi
di
dalam pembentukan istilah Indonesia.
Kata kuno adalah satuan leksikal (kata,
frase, bentuk majemuk) yang (a)kehilangan acuannya di luar bahasa, (b) mempunyai
konotasi masa yang silam, (c) berasal dari leksikon bahasa pada taraf
sebelumnya, atau (d) masih dapat dikenali secara tepat ataupun secara kurang
tepat oleh penutur bahasa yang bersangkutan.
Bentuk kuno antara lain: ancala 'gunung',
andaka 'banteng', bahana 'terang' atau'nyata', balian 'dukun',
basut 'pancaran air', baginda 'yang bahagia', cetera'payung
kebesaran', curik 'golok pendek', dahina '(siang) hari', danawa'raksasa',
ganda 'bau', graha 'rumah', homan 'korban bakaran', inderaloka
'surga' jauhar 'intan', jihat 'arah' atau 'sisi' atau
'pihak', kalakian 'ketika itu', kawi'kuat' atau 'kukuh' atau
'sakti', kopok 'semacam gong', langkara 'mustahil', lepau 'semacam
beranda di belakang rumah', madukara 'lebah', maharana'perang
besar', narapati 'raja', nayaka 'menteri', rata 'kereta
perang zaman dulu',
serdam
'sejenis suling', sida-sida 'pelayan raja
yang dikebiri', sumbuk 'sebangsa perahu' (Jowono, 1982: 164).
Sementara, kata usang adalah satuan
leksikon yang sarat dengan konotasi.Beberapa contoh kata usang, yaitu babu 'pembantu
rumah tangga (wanita)', jongos'pembantu rumah tangga (pria)', kacung 'anak
laki-laki', kuli 'pekerja kasar', pelacur 'tuna susila', manipol
'manifesto politik', nasakom 'nasionalisme agama komunis', rodi 'perintah
atau kerja paksa', romusa 'pelaku kerja paksa' (pada zaman Jepang), kumico
'barang keperluan sehari-hari', polmah 'surat kuasa', karambol 'permainan
bilyar', serdadu 'prajurit', mester 'ahli hukum', hopbiro'markas
besar polisi', grad 'derajat', jaram 'kompres dingin'. Baik
bentuk-bentuk kuno maupun bentuk-bentuk usang dapat dipengaruhi oleh pemungutan
arti, karena dengan semakin berkembangnya teknologi saling pengaruh antarbahasa
yang diakibatkan oleh komunikasi semakin tinggi pula.
Bentukan baru yang memakai unsur lama,
antara lain, satria mandala, bina graha,
bentukan
baru yang tidak disesuaikan dengan kaidah hukum DM, sebab bila mengikuti hukum
DM seharusnya menjadi mandala satria dan graha bina(Djajasudarma,
1993).
3. Perluasan
Makna
Perluasan makna terjadi pada kata-kata,
antara lain, saudara, bapak, ibu, dahuludigunakan untuk menyebut orang
yang seketurunan (sedarah) dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak
atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu dihubungkan dengan orang tua
laki-laki, dan kata ibu dengan orang tua perempuan. Sekarang ketiga kata
tersebut pemakaiannya telah meluas maknanya.
Kata bapak digunakan kepada setiap
laki-laki yang tua, meskipun tidak ada pertalian darah dengan kita; kata
saudara digunakan untuk mereka yang sebayadengan pembicara; dan kata ibu
digunakan untuk perempuan tua, meskipun tidak ada pertalian darah.
Perluasan makna dapat terjadi pula
dengan menambah unsur lain, misalnya,kata kepala 'bagian badan sebelah
atas' (dahulu). Sekarang maknanya meluas, misalnya, kepala bagian, kepala
sekolah, kepala kantor pos, kepala rumah sakit,suster kepala (untuk
membedakan dari kepala suster). Makna kepala pada bentuk-bentuk
tersebut masih tampak, yakni berasosiasi dengan atas, sebab kepala di
dalam konstruksi tersebut menunjukkan orang yang memiliki jabatan tertinggi (atas
- pemimpin).
Kata kemudi yang dahulu bermakna
'alat untuk meluruskan jalannya kapalatau perahu', sekarang muncul frase mengemudikan
perusahaan (negara),mengemudikan pesawat. Makna asosiatif menjaga kelurusan
(keamanan) masih terasa atau tampak. Demikian pula terjadi pada kata benih
yang selalu dihubungkan dengan masalah pertanian (bibit) benih padi,
benih jagung, dan sebagainya, sekarang muncul benih persengketaan, benih
perkara, benih kesengsaraan, yang maknanya 'sumber' (bibit). Makna asosiasi
benih 'bibit' yang sama dengan 'sumber' masih dapat dirasakan. Contoh
lain, kata haluan 'bagian depan kapal atau
perahu'
(semula), sekarang dapat bermakna 'arah', 'paham', atau 'alihan'; kata memancing
yang semula lebih dihubungkan dengan kegiatan menangkap ikan, sama dengan
'mengail', sekarang muncul 'ekspresi memancing kerusuhan,memancing
perkelahian, dan sebagainya. Maknanya masih memiliki hubungan dengan
memancing ('mencoba-coba membangkitkan' ). Ekspresi atau kata-kata yang
disebutkan terdahulu sebagai contoh adalah sebagian kecil yang membuktikan
adanya perluasan makna. Perluasan makna umum dihubungkan dengan pemakaian kata
secara operasional. Masyarakat bahasamengambil manfaat baik dengan jalan
analogi atau melalui peristiwa tertentu meluaskan makna kata-kata atau
ekspresi-ekspresi tertentu.
4. Pembatasan
Makna
Makna kata dapat mengalami pembatasan,
atau makna yang dimiliki lebihterbatas dibandingkan dengan makna semula. Kata
dengan bentukan baru hanya mengacu kepada benda atau peristiwa yang terbatas
(khusus). misalnya:
(1)
ahli,
(2)
ahli penyakit,
(3)
ahli kebidanan,
(4)
ahli sejarah,
(5)
ahli bahasa.
Kita mengetahui bahwa makna ahli semula
'anggota keluarga', 'orangyang termasuk di dalam satu garis keturunan',
ditambah unsur lain maknanya menjadi terbatas atau menyempit.
Kata sastra di dalam bahasa
Sansekerta memiliki makna yang luas, tetapi didalam bahasa Indonesia sekarang
makna kata sastra hanya dihubungkan dengan karangan-karangan yang
bernilai keindahan yang dapat menggugah perasaan. Demikian juga bila kita lihat
kata lain, seperti:
(1)
merawat, bukan hanya pekerjaan yang berlaku bagi lingkungan rumah sakit,
di rumah sendiri pun dikatakan dirawat (bagi orang sakit), dan
berlakupula merawat rumah, merawat bayi, merawat ayam (meskipun tidak
sakit). Tetapi, kata perawat masih memiliki makna terbatas di rumah
sakit, yang bermakna 'orang yang merawat yang sakit' merawat memiliki makna
yang luas.
(2)
tukang, memiliki makna yang luas 'ahli' atau'bisa mengerjakan sesuatu', maknanya
menjadi terbatas dengan munculnya unsur pembatas, seperti pada (1) tukang
kayu, tukang catut, tukang tambal ban, dan seterusnya.
(3)
skripsi, semula memiliki makna luas 'semua tulisan tangan', sekarang maknanya
terbatas (menyempit) 'tulisan (mahasiswa) yang disusun sebagai persyaratan
untuk memperoleh gelar'.
(4)
kata saudara, semula maknanya terbatas pada 'saudara seayah dan seibu
(sekandung)’, kemudian saudara menjadi pronomina sapaan bagi mereka yang
seusia dengan pembicara atau lebih rendah usianya dari pembicara. Tetapi, maknanya
dapat terbatas dengan menambah unsur lain, misalnya, saudarasepupu, saudara
kandung, saudara tiri.
5. Pergeseran Makna
Makna berkembang dengan melalui
perubahan, perluasan, penyempitan, ataupergeseran. Pergeseran makna terjadi
pada kata-kata (frase) bahasa Indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan
makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata, frase) dengan yang baru
dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap memiliki makna
yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Contoh:
(1)
bui, tahanan, atau tutupan 'tempat orang ditahan atau dipenjara
setelah mendapat putusan hakim untuk menjalani hukuman', sekarang muncul lembagapemasyarakatan,
dan maknanya bergeser 'selain tempat untuk menahan terpidana menjadi tempat
untuk mengubah tingkah laku terpidana agar kelak dapat diterima kembali oleh
masyarakatnya.
(2)
dipecat, dirasakan terlalu keras, dengan demikian muncul diberhenti-kan dengan
hormat atau dipensiunkan.
(3)
ditahan, dirasakan menyinggung perasaan orang yang mengalaminya dengan
pertimbangan tertentu maka muncul diruntankan dan maknanya bergeser
ditahan di rumah bukan tempat tahanan umum.
(4)
sogok-menyogok dirasa terlalu mencolok mata, oleh
karena itu muncul pungli (pungutan liar'), menyalahgunakan wewenang,
komersialisasi jabatan,upeti, dst.
Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk
imperatif seperti padasegera laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap
dilaksanakan atau mohon dilaksanakan terjadi eufemisme. Modalitas
keharusan yang muncul dengan konstruksi harus untuk prinsip eufemisme,
mis., harus datangmenjadi mohon hadir, mohon datang. Kata berpidato
atau memberi instruksidirasakan terlalu kasar dan biasanya diganti
dengan memberikanpengarahan, memberikan pembinaan, mengadakan saresehan, dan
sebagainya.
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata
atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya,
oleh karena itu, kita tidak mengatakan orang sudah tua di depan mereka
yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan, maka muncullah orang lanjut
usia.
Demikian
pula terjadi pergeseran makna pada kata-kata atau frase berikut:
(1)
tuna netra 'buta'
(2)
tuna rungu 'tuli'
(3)
tuna wisma 'gelandangan'
(4)
tuna susila 'pelacur'
(5)
cacat mental 'orang gila'
(6)
pramusiwi 'pelayan (bayi)'
(7)
pramuwisma 'pelayan (pembantu)'
(8)
pramuniaga 'pelayan toko'
(9)
menyesuaikan harga 'menaikkan harga'
(10)
dipetikan 'masuk kotak'
Djajasudarma (1993), mengatakan pemakai
bahasa dalam hal iniselalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsur
yang terdapat di dalam bahasanya. Pemakai bahasa berusaha agar kawan bicara
tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu, muncul pergeseran makna.
Dikatakan pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian
lambang (simbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan
(eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau
orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan).
3.
HUBUNGAN
MAKNA
Bahasa bersifat dinamis dan terjadi hubungan
antarpemakai bahasa. Ke dalam perkembangan termasuk penambahan makna,
pengurangan makna, pergeseran, dan perubahan serta penghilangan. Di dalam
proses perkembangan makna, pemakai bahasa sangat menentukan. Bila kita rinci
perubahan makna terdiri atas (1) perubahan secara logis, (2) perubahan secara
psikologis, (3) perubahan secara sosiologis (Firth, 1969: 11 dalam
Djajasudarma, 1993).
Tahapan perubahan makna, yaitu (1)
pengaruh konteks terhadap makna khusus, (2) kutipan umum dari makna tertentu,
(3) penggunaan kata baru di dalam kombinasinya yang bebas (Stockleir dalam
Firth, 1969 dalam Djajasudarma, 1993) kemudian (4) hubungan makna yang sekarang
dengan makna yang lebih dahulu ada (Sperber dalam Firth, 1969 dalam
Djajasudarma, 1993).
Hubungan makna di dalam hal ini seperti
apa yang dikemukakan Nida (1975) dalam Componential Analysis of Meaning, ada
empat prinsip untuk menyatakan hubungan makna, yakni (1) prinsip inklusi (inclusion),
(2) tumpang tindih (overlapping), (3) komplementasi (complementation),
dan (4) persinggungan (contiguity).
Bila ada orang yang mengatakan, “Mereka
sedang berebutan kursi”, informasi tersebut akan diberi makna yang
berbeda-beda. Bagi orang awam akan diberi makna memang mereka berebut kursi
untuk sekadar duduk, sedangkan bagi politisi lain lagi berebut kursi yang
bermakna 'jabatan'. Akan tetapi, dari dua makna
yang
berbeda itu masih kita lihat hubungan maknanya keduanya kursi menyatakan
'tempat duduk', karena yang menjabat tersebut kalau bekerja tentu di atas kursi
juga atau 'tempat duduk’. Oleh karena itu, dapat kita lihat adanya empat
prinsip yang menyatakan hubungan makna (Nida, 1975 dalam Djajasudarma, 1993).
A. Prinsip
Inklusi
Makna yang termasuk di dalamnya disebut
hubungan makna dengan prinsip inklusi (makna inklusif). Prinsip inklusi terjadi
akibat (1) manusia (pemakai bahasa) ingin dengan cepat mengungkapkan apa yang
diacunya, atau (2) sebagai akibat ketidakmampuan pemakai bahasa untuk
menciptakan nama benda (peristiwa) yang diacunya.
Berikut contoh kata-kata yang memiliki
hubungan makna dengan prinsip inklusi, yaitu:
(1)
kata binatang, ke dalamnya tercakup harimau, gajah, kucing, semut, ikan,
dan sebagainya;
(2)
kata pemuda, ke dalamnya inklusif pemudi, tetapi tidak sebaliknya
bila dibandingkan dengan pemudi (khusus perempuan).
(3)
kata makan menginklusifkan jenis makanan dan alat untuk makan, seperti
pada la sedang makan.
(4)kata
menuju bermakna arah dan menginklusifkan preposisi ke,sehingga
ada ekspresi, la menuju Jakarta atau la menuju ke Jakarta, dan
sebagainya;
Manusia akan menyebut rumput pada
tumbuhan yang tergolong rumput. Bila kita ditanyai jenisnya tentu tidak
akan mengetahui lebih mendalam (tumbuhanyang sejenis akan termasuk sama, jadi
kata rumput menginklusifkan berbagaijenis rumput yang ada. Kalau kita
mengatakan binatang, terbayang semuabinatang yang hidup di sekeliling
kita, dan bukan binatang yang tidak ada disekitar kita, misalnya, kanguru atau
zebra. Dengan demikian, bila kita mengatakanbinatang, banyak binatang yang
tercakup (inklusif) di dalamnya.
B. Prinsip
Tumpang Tindih
Prinsip tumpang tindih ini mengacu pada
suatu kata yang mengandung berbagai informasi. Makna kata tersebut berlapis,
misalnya, di dalam bahasa Indonesia mempertanggungjawabkan di samping
makna kategori aktif, didapatkan pula makna ketegori 'aksi atau tindakan
bertanggung jawab'; kami-kami bermakna (1) pronomina persona pertama
jamak, dan (2) meremehkan atau menganggap rendah.
Berikut adalah contoh kata-kata yang
mengandung makna tumpang
tindih.
(1)
ditahan - dipertahankan
(2)
membaharui - memperbaharui
(3)
mata - memata-matai
(4)
dikerjakan - dikerjakannya
(5)
menakutkan - menakut-nakuti
(6)
membaca - kaubaca, kubaca
(7)
lakukan - memperlakukan
(8)
mendatang - mendatangkan
(9)
(di) rumah - dirumahkan
(10)
nanti - menantikan
C. Prinsip
Komplementer
Prinsip ini merupakan pasangan-pasangan
yang komplementer (saling melengkapi) baik yang berupa (a) yang berlawanan, (b)
berlawanan dengan makna berbalik (sebaliknya), dan makna bolak-balik
(berlawanan timbal balik). Contoh prinsip komplementer adalah sebagai berikut.
(a)
yang berlawanan (lawan kata):
(1) baik : buruk
(2) benar :
salah
(3) besar :
kecil
(4) runcing :
tumpul
(5) tebal dst. :
tipis
dan sebagainya.
(b)
yang berbalik:
(1) marah :
senang
(2) bertengkar :
berdamai
(3) memusuhi :
menemani
(4) membenci :
menyenangi
(5) datang :
pergi
dan
sebagainya.
(c)
yang timbal-balik:
(1) menyewa :
menyewakan
(2) menjual :
membeli
(3) menerima :
memberi
(4) membersihkan
: mengotori
(5) menggali :
menimbun
Prinsip komplementer berlaku bagi
kata-kata yang memiliki makna berlawanan, berbalik atau yang timbal balik,
seperti terlihat pada contoh di atas. Selintas terlihat seperti hanya terdapat
pada kata-kata yang berlawanan, tetapi bila diperhatikan hubungannya
berdasarkan makna yang diungkap kata tersebut akan tampak perbedaan di antara
ketiga hal yang termasuk komplementer.
D. Prinsip Persinggungan
Makna persinggungan hampir sama dengan
apa yang disebut sinonim, hanya tingkat kesamaan agak berbeda dalam hal ini.
Makna persinggungan terjadi pada kata-kata yang memiliki makna asosiatif yang
sama.
Perhatikan
kata-kata berikut:
(1)
memberikan
(2)
menyerahkan
(3)
menganugrahi A
(4)
menghadiahi
(5)
terbit
(6)
muncul B
(7)
keluar
(8)
menjenguk
(9)
menengok
(10)
melihat
(11)
memandang C
(12)
mengunjungi D
(13)
melayat
(14)
menonton
(15)
berjalan
(16)
berlari
(17)
melangkah E
(18)
berjingkat
4.
MAJAS
Majas (figure of speech) dibedakan
dari style 'gaya'. Untuk mengkonkretkan dan menghidupkan karangan
pengarang dapat menggunakan majas. Arti majasi diperoleh jika denotasi kata
atau ungkapan dialihkan dan mencakupi juga denotasi lain bersamaan dengan
tautan pikiran lain. Majas mampu mengimbau indera pembaca karna sering lebih konkret
dari pada ungkapan yang harfiah. Lagi pula, majas sering lebih ringkas daripada
padanannya yang
terungkap
dalam kata biasa (Meoliono, 1984). Berikut ini adalah jenis-jenis gaya bahasa
berikut contoh-contohnya yang kadang-kadang terdengar dalam sebuah tuturan
berbahasa.
Asosiasi
Asosiasi adalah gaya perbandingan
terhadap benda yang telah disebutkan dengan memberi persamaan (asosiasi) dengan
benda tersebut sehingga jelas kepada pembaca keadaan benda itu.
Contoh:
a.
Mukanya pucat bagai mayat.
b.
Pakaiannya kusut, seperti benang dilanda ayam.
c.
Hatinya sedih, seperti diiris sembilu.
d.
Semangatnya keras seperti baja.
Metaphora
Metaphora
adalah perbandingan langsung. Sebuah benda dibandingkan langsung dengan benda
lain yang mempunyai sifat yang sama dengan benda semula
Contoh:
a.
Raja siang bersinar di ufuk timur. (Raja berkuasa – matahari berkuasa di siang
hari.
b.
Pancasila akan hidup subur dalam taman sari manusia ber-Tuhan.
c.
Dewi malam keluar dari perpaduan. (Dewi malam = bulan)
d.
Wahai tunas-tunas harapan bangsa, belajarlah sungguh-sungguh.
e.
Semangatnya berkobar-kobar.
Personifikasi
Personifikasi atau gaya bahasa
perorangan, ialah sifat benda mati diumpamakan
dengan
benda atau mahluk yang bernyawa yang dapat bergerak sendiri.
Contoh:
a.
Menjerit peluit kereta malam.
b.
Lonceng memanggil-manggil para siswa masuk ruangan.
c.
Bulan bersembunyidi balik awan.
d.
Awan hitam menebal diiringi halilintar bersahut-sahutan.
Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang
menggunakan sebuah kata atau nama
yang
dipersamakan dengan suatu benda. Dipakai untuk menggantikan benda yang
dimaksud.
Contoh:
a.
Pernahkan engkau membaca dokter Heslinda?
b.
Mereka memakai Mazda, Bukan Holden.
c.
Kulihat seseorang, dengan teteron melekat di badannya, wajahnya dihiasi night
and day, sambil menghisap Dji Sam Su.
Pleonasme
Pleonasme adalah gaya bahasa penegas
dengan menggunakan sepatah kata yang
sebenarnya
tidak perlu, karena yang dinyatakan oleh kata itu, terkandung dalam kata-kata
sebelumnya,
Contoh:
a.
Ia menoleh ke samping.
b.
Kapal Titanic mengarungi samudera luar.
c.
Peristiwa itu, kami saksikan dengan mata kepala sendiri.
d.
Salju putih meliputi pegunungan Himalaya.
Hiperbolisme
Hiperbolisme atau ungkapan pengeras,
ialah sepatah kata ganti dengan kata lain
yang
mengandung arti yang lebih hebat.
Contoh:
a.
Pekik merdeka berkumandang di angkasa.
b.
Cita-citanya melangit saja.
c.
Tiba-tiba meledaklah amarahnya.
d.
Petir membelah bumi.
e.
Pelawak itu berhasil mengoyak-ngoyak perut penonton.
Litotes
Gaya bahasa ini mempergunakan kata-kata
yang berlawanan, artinya dengan katakata yang dimaksud oleh si pembicara dengan
maksud merendahkan diri. Hal ini bisa didengar dari lagu orang berbicara
Contoh:
a.
Sudikah saudara mengunjungi gubuk kami?
b.
Terimalah bingkisan yang tak berarti ini dengan senag hati.
c.
Pertolongan apakah yang saudara harapkan dari saya yang lemah dan bodoh!
d.
Pak guru membagikan hasil ulangan, aku mendpat nilai yang lumayan dan ketika
kawanku menanyakan berapa hasil ulanganku, ‘ah buruk hasilnya!’.
Euphimisme
(ungkapan pelembut)
Sebuah kata diganti dengan kata lain
untuk melembutkan. Artinya, supaya sopan terdengarnya atau terhindar dari tabu
(pamali).
Contoh:
a.
Pak guru berkata, “hasil ulanganmu kurang memuaskan!” (buruk).
b.
Izinkan saya hendak ke belakang.
c.
Ibiku sudah kurang pendengarannya.
d.
Jenazah para pahlawan telah dikebumukan kemarin.
e.
Harimau dikatakan kakek.
Simbolik
Simbolik adalah gaya bahasa kiasan yang
melukiskan sesuatu dengan bendabenda lain sebagai simbol atau perlambang.
Contoh:
a.
Bunglon, lambang bagi orang yang tak tetap pendiriannya.
b.
Cucunguk, lambang orang yang suka mengacaukan suasana.
c.
Kekasih, lambang bagi Tuhan. (dalam sajak-sajak Amir Hamzah).
d.
Bulan-bintang, lambang ajaran Islam.
e.
Salib, lambang agama Kristen.
f.
Lintah darat, lambang pemeras, pemakan riba.
Ironi
Ironi ialah gaya bahasa sindiran. Yang
dikatakan sebaliknya daripada sebenarnya, dengan maksud menyindir secara halus
orang yang diajak bicara.
Contoh:
a.
Bagus benar gambarmu, dik! Yang dimaksud buruk.
b.
Hampir engkau kesiangan yah, kata pak guru kepada seorang murid yang datang
terlambat.
Cynisme
Cynisme adalah gaya bahasa menyindir
yang lebih kasar dari ironi, biasanya tidak
dinyatakan
yang sebaliknya lagi, kalau pun ada, lebih kasar dari ironi.
Contoh:
a.
Muntah aku, melihat perbuatanmu ini!
b.
Mual perutku, mendengar kata-katamu yang mencari helah.
c.
“Harum benar badanmu dik!”, kata suami kepada istrinya yang belum mandi.
Sarkasme
Sarkasme adalah gaya bahasa kiasan yang
kasar sekali, memaki-maki dengan kata-kata yang tak akan dipergunakan oleh
orang-orang yamg sopan. Biasanya dipakai kalau darah datang mendidih.
Contoh:
a.
Hai anjing! Belumlah eungkau keluar dari sini?
b.
Walaupun eungkau mampus, tak ada peduliku.
c.
Cih mukamu yang seperti monyet itu, jijik aku melihatnya.
d.
Hai iblis, masih juga kamu melanggar tata tertib.
Repetisi
Repetisi adalah sepatah kata diulang
beberapa kali untuk mempertegas. Sering
terdapat
dalam bahasa bertutur atau prosa.
Contoh:
a.
Selama napas masih mengalun, selama darah masih mengalir, selama jantung masih
berdebar, aku tidak akan berhenti berjuang.
b.
Bahagia tak usah kaucari kemana-mana, bahagia tak usah kau buru ke tempat yang
jauh, bahagia ada dalam hati sanubari sendiri.
c.
Orde Baru tidak mungkin berkompromi dengan orde lama, Orde Baru mengabdi kepada
kepentingan rakyat, Orde Baru menuju kemurnian pelaksanaan UUD 45 dengan
konsekwen, Orde Baru melaksanakan demokrasi Pancasila.
Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa penegasan
dengan mengatakan beberapa hal berturutturut yang makin lama makin menghebat
atau mendaki.
Contoh:
a.
Dari kecil sampai dewasa, sampai setua ini, engkau belajar belum juga
pandai-pandai.
b.
Bukan hanya beratus, beribu, malah berpuluh ribu orang telah menderita akibat
perang.
c.
Sepeda, beca, motor, mobil, menghiasi keramaian lalu lintas di Kotamadya
Bandung.
Anti
Klimaks
Anti klimaks adalah gaya bahasa yang
mengatakan beberapa hal atau peristiwa
berturut-turut
dari yang besar hingga kecil, dari yang penting hingga yang kurang penting.
Jadi makin menurun.
Contoh:
a.
Gedung-gedung, rumah-rumah gubug-gubug, toko-toko, warung-warung semuanya
mengibarkan sang Merah Putih.
b.
Para Inspektur, kepala-kepala sekolah, guru-guru, murid semuanya turut dalam
oubade itu.
c.
KASI, KAMI, KAPI, KAPPI, tidak sedikit jasanya dalam mengikis habis orde lama,
mental gestapu, serta mendobrak penyeleweng-penyeleweng.
Synecdoche
Gaya bahasa ini terbagi atas:
1.
Pars pro toto (sebagian untuk seluruhnya). Maksudnya, kalau
disebutkan sebagian dari suatu benda maka yang dimaksud benda itu seluruhnya.
Jadi, artinya makin meluas.
Contoh:
a.
Saya membeli tiga ekor lembu. (maksudnya lembu seluruhnya bukan ekornya saja)
b.
Kami kena Rp. 50,- sekepala. (maksudnya bukan kepala itu saja melainkan setiap
orang)
2.
Totem pro parte (seluruh untuk sebagian). Sebaliknya dengan yang
di atas (bagian 1) dengan menyebutkan keseluruhan, padahal yang dimaksud hanya
sebagian. Jadi, artinya makin menyempit.
Contoh:
a.
Sekolah kami mendapat piala kejuaran basket ball.
b.
Telah beberapa hari aku tidak melihat batang hidungnya.
c.
Kaum puteri memperingati hari Kartini.
Paradok
Paradok ialah gaya bahasa pertentangan,
bila dilihat sepintas lalu. Tetapi karena yang dimaksud oleh kata-kata itu
objeknya berlainan, maka tidak ada pertentangan di dalamnya.
Contoh:
a.
Dia kaya, tetapi miskin. (kaya harta tetapi miskin ilmu)
b.
Gajinya besar, namun hidupnya melarat. (jiwanya menderita).
c.
Dia orang pandai yang tidak bijaksana. (tidak semua orang pandai bijaksana,
namun kebijaksanaan adalah kepandaian).
d.
Yang diagung-agungkan orang itu ternyata orang kuat yang lemah. (kuat fisiknya
tetapi lemah moral/mentalnya).
Anthithese
Anthithese adalah gaya bahasa yang
mempergunakan paduan kata-kata yang
belawanan
arti.
Contohnya:
a.
Maju mundurnya bangsa Indonesia terganrung pada kesanggupan membangun rakyat
serta generasi-generasi selanjutnya.
b.
Hidup matinya, susah senangnya, serahkanlah padaku.
c.
Tua muda, besar kecil, laki perempuan hadir dalam rapat raksasa itu.
Koreksio
Koreksio adalah gaya bahasa penegasan
yang dipakai menegaskan dengan membetulakan kembali apa yang salah, yang sudah
diucapkan, baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja.
Contoh:
a.
Dia adikku, eh bukan, kakekku.
b.
Silahkan pulang saudara-saudara, eh maaf, silahkan makan maksud saya.
c.
Ibu sedang di dapur, eh bukan, di kamar mandi.
Inversi
Inversi adalah pembalikan susunan subjek
predikat, menjadi predikat subjek. Maksudnya supaya tekanannya jatuh pada
predikat.
Contoh:
a.
Pada malam itu, terang benar bulan.
b.
Pandai sungguh eungkau.
c.
Turun hujan, patahlah dahan.
Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa penegasan
ini terdapat dalam puisi, sepatah kata diulang beberapa kali pad atempat yang
sama. Bila tempatnya di awal, disebut Anpora. Bila tempatnya di akhir, disebut
epipora.
Contoh
Anpora:
………………
Jungjunganku,
Apatah kekal.
Apatah tetap.
Apatah tak
bersalin rupa.
Apatah boga
sepanjang masa.
……………… (Amir
Hamzah).
Contoh
epipora:
Kalau kau mau,
ia akan datang.
Bila kau pinta,
ia akan datang.
Jika kau kehendaki, ia akan datang
Retoris
Retoris adalah gaya bahasa penegasan
dengan mempergunakan kalimat tanyatidak bertanya, sering bersifat mengejek atau
menyatakan kesangsian. Gaya bahasa ini sering pula dipergunakan oleh ahli
pidato.
Contoh:
a.
Inikah yang kamu namai bekerja? (pekerja sungguh buruk).
b.
Mana mungkin orang mati hidup kembali! (artinya tak mungkin)
Elipsi
Elipsi adalah gaya bahasa yang
mempergunakan bentuk kalimat elips supaya penegasan jatuh pada kata-kata sisa
yang tak disebutkan.
Contoh:
a.
Rasailah bekas tanganku!
b.
Mencuri pagi. Tiada juga jera-jera dihukum?
c.
Kalau belum jelas, kubentangkan sekali lagi.
Djajasudarma
(1993), mengatakan dan membagi jenis majas menjadi tiga yang terpenting adalah
(1) majas perbandingan, (2) majas pertentangan, (3) majas pertautan.
Majas
Perbandingan
Pertentangan Pertautan
-
perumpamaan - hiperbol - metonimia
-
kiasan - litotes - sinekdoke
-
penginsanan - ironi - kilasan (allusion)
-
eufemisme
1.
Majas Perbandingan
(a)
perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang
dengan sengaja kita anggap lama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan
dengan pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat,umpama, bak, laksana. Misalnya,
seperti gajah masuk kampung. Artinya, orang berkuasa dapat berbuat
seenaknya di lingkungan orang lemah.
(b)
kiasan atau metafor ialah perbandingan yang implisit, tanpa kata seperti atau
sebagai di antara dua hal yang berbeda. Misalnya, sumber ilmu, kuli
di antarabangsa-bangsa, buah hati, mata jaruni, anak emas.
(c)
penginsanan atau personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani
kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Misalnya, angin yang
meraung, penelitian menuntut kecermatan, cinta itu buta.
2.
Majas Pertentangan
(a)
hiperbol ialah ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan:
jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya. Misalnya, sejutakenangan indah;
terkejut setengah mati, berhari-hari tidak mengejapkan matabarang sesaat.
(b)
(litotes bahasa Inggris understatement) ialah majas yang di dalam pengungkapannya
menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang
bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
Misalnya, hasilnya tidak mengecewakan (maksudnya hasilnya baik), orang tidak
bodoh atau orang
sama
sekali tidak bodoh (maksudnya, orang yang pandai, atau
yang sangat pandai).
(c)
ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan, dengan maksud
berolok-olok.
Maksud
itu dapat dicapai dengan mengemukakan
(a)
makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara
harapan dan kenyataan, dan (c) ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan
dan kenyataan yang mendasarinya. Misalnya, Sudah pulang engkau, baru pukul
dua malam, (ayah yang dengan kesal menunggu-nunggu anak gadisnya
pulang). Laporanmu yang terakhir waktuLebaran yang lalu, bukan ? Maklum kita
sibuk sekali (atasan yang menantikan
laporan
yang tak kunjung datang). Bukan main bersihnya di sini, di manamana
ada
sampah.
3.
Majas Pertautan
(a)
metonimia berupa pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditaukan dengan orang,
barang, atau hal, sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau
pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya, ataupun kita
menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya. Misalnya, (Karya) Chairil
Anwar dapat kita nikmati; Amir hanya mendapat (medali) perunggu.
(b)
sinekdoke ialah majas yang menyebut nama bagian sebagai pengganti nama
keseluruhannya, atau sebaliknya. Misalnya, tiga atap (rumah), (kesebelasan)
Jakarta lawan (kesebelasan) Medan.
(c)
kilatan (bahasa Inggris allusion) disebut juga alusi ialah majas yang menunjuk
secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan
adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca dan adanya
kemampuan pada pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Misalnya, Apakah
peristiwa Madiun akan terjadi lagi?(kilatan yang mengacu ke pemberontakan
kaum komunis). Tidak usahmenjadi Sidik untuk membongkar korupsi itu (kilatan
yang merujuk keperistiwa ketika Menteri Penertiban Aparatur Negara menyamar
sebagai orang kebanyakan).
(d)
eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang
dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan.
Misalnya, meninggal, bersengketa, tinja, tunakarya. Namun eufemisme
dapat juga dengan mudah melemahkan kekuatan diksi karangan. Misalnya, penyesuaian
harga, kemungkinan kekurangan makan,membebastugaskan.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Ketaksaan
berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu,
(1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran
fonetik atau fonem; (2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas
yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem
lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan
(3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata,
atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang
mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa
homonim atau polisemi.
Perubahan makna dapat dianggap sebagai akibat
hasil proses yangdihasilkan oleh (1) hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam
kosakata, (3)perubahan konotasi, (4) peralihan dari acuan kongret ke acuan
abstrak, (5)timbulnya gejala sinestesia, dan (6) penerjemahan harfiah.Perluasan
makna merupakan proses perkembangan makna yang meluas,sebuah kata dengan makna
yang asalnya sempit sekarang menjadi lebih luas.Misalnya, kata saudara, dahulu
maksudnya hanya digunakan untuk menyebutorang seketurunan, tetapi sekarang dipakai
untuk mereka yang sebaya dengan sipenutur. Proses perkembangan makna
selanjutnya, adalah pembatasan maknayaitu makna yang dimiliki lebih terbatas
dibanding dengan makna semula. Danpergeseran makna adalah perkembangan makna
yang terjadi pada kata-kata yangeufemisme (melemahkan makna). Pergeseran makna
terjadi pula pada bentuk
imperatif.
Perubahan makna menurut Firth (1969) terdiri
atas (1) perubahan secaralogis, (2) perubahan secara psikologis, dan (3)
perubahan secara sosiologis,sedangkan hubungan makna terdiri dari empat
prinsip, yaitu prinsip inklusi,prinsip tumpang-tindih, prinsip komplementer,
dan prinsip persinggungan.
Gaya bahasa banyak macamnya. Di sini dapat
disebutkan, (1) asosiasi, (2)metaphora, (3) personifikasi, (4) metonimia, (5)
pleonasme, (6) hiperbolisme, (7)litotes, (8) euphimisme, (9) simbolik, (10) ironi,
(11) cynisme, (12) sarkasme, (13)repetisi, (14) klimaks, (15) anti klimaks,
(16) synecdoche, (17) paradok, (18)antithese, (19) koreksio, (20) inversi, (21)
paralelisme, (22) retoris, dan (23)elipsi.
Secara garis besar Djajasudarma (1993),
membagi gaya bahasa atau majasmenjadi tiga golongan, yaitu (1) majas
perbandingan yang terdiri dari:perumpamaan, kiasan, dan penginsanan; (2) majas
pertentangan, terdiri dari:hiperbol, litotes, dan irono; dan (3) majas
pertautan, terdiri dari: metonimia,sinekdoke, kilasan, dan eufemisme.
DAFTAR PUSTAKA
Resmini, novi. Dkk. 2006. Kebahasaan 1 (fonologi, morfologi dan
semantik). Bandung: UPI PRESS
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu
Makna.
Bandung: ERESCO.
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Verhaar, J.W.M. 1992. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press.
Categories
Ambiguitas,
kebahasaan,
KETAKSAAN,
Kuliah,
MAKALAH,
PGSD
Langganan:
Postingan (Atom)